Minggu, 30 Oktober 2011

Gambaran Umum Desa Cakru : “Lek Gak Dichakra Gak Dadi Deso”


Pendopo Kepala Desa S. Hardjowiguno (alm.)
Desa Cakru merupakan bagian dari Kecamatan Kencong Kabupaten Jember Propinsi Jawa Timur Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kehidupan masyarakat Desa Cakru pada umumnya adalah agraris, yaitu menggantungkan kehidupannya pada ketersediaan alamnya dengan bertani.
Sebelum tahun 1990, Desa Cakru masih meliputi Desa Paseban[1]. Pada tahun 1990 dibentuk Desa Persiapan Paseban sebagai Pemecahan Desa Cakru yang kemudian pada tahun 1995 ditetapkan menjadi Desa Paseban yang definitive.
Luas wilayah Desa Cakru, setelah pemecahan desa, adalah 960,675 Ha. Batas bagian utara adalah Desa Keting, Sebelah Timur adalah Desa Kraton, sebelah selatan adalah Desa Paseban, dan sebelah barat adalah Desa Wotgalih Kecamatan Yosowilangun  Kabupaten Jember. Desa Cakru terbagi menjadi 4 (empat) dusun, yaitu: Dusun Tempuran, Dusan Krajan, Dusun Igir-Igie, dan Gonadang rejo.
Secara umum kewilayahan Desa Cakru (baik sebelum maupun sesudah pemecahan Desa) merupakan dataran rendah mulai 0’ meter dpl – 9’ meter dpl. Desa Cakru seacara astronomis terletak pada sudut 8’15’’ 52,26’’’ South dan 113’20’’49,31’’’’ East. Lahan yang ada di desa ini sebagian rawa-rawa yang kemudian beralih fungsi sebagai lahan pertanian, pekarangan dan perumahan penduduk.
Kondisi wilayah Cakru yang semula berawa-rawa, pada dinamika historisnya yang pada perkembangannya beralih fungsi, ha ini dapat dilihat dari beberapa nama di tanah ini yang bersangkutan dengan rawa. Nama-nama tersebut di antaranya Rowo Cankring, Rowo Dekeng, Rowo Tangal, Rowo Gempol, Rowo Lumbu dan sebagainya[2].
Pengalihan fungsi rawa menjadi lahan pertanian, pekarangan dan pemukiman penduduk seiring dengan dinamika pertambahan penduduk di tanah Cakru. Daya tarik utama kedatangan penduduk di tanah Cakru diantaranya adalah ketenangan suasana lingkungannya dan suburnya lahan.
Dinamika masyarakat Cakru  tidak dapat dilepaskan dari tiga hubungan pokok, yaitu: hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan hubungan manusia dengan Sang Penciptanya (Tuhan). Ketiga hubungan ini menjadi kerangka dasar dari penelusuran, analisa dan penulisan Babad Tanah Cakru. (YSH-mas yopi)


[1] Terjadi Pemekaran Desa didasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur No. 90 Th. 1990 Tentang Pengesahan Desa Persiapan Paseban sebagai Pemecahan Desa Cakru Kecamatan Kencong Kabupaten Jember. SK ini lima tahun kemudian diperkuat dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur No. 26 Tahun 1995 Tentang Penetapan Desa Persiapan Paseban Menjadi Desa Paseban Kecamatan Kencong Kabupaten Daerah Tingkat II Jember.
[2] Informasi dari Bayan (Wakil Kepala Dusun) Gondangrejo, Harkamad, Wawancara Dengan Harkamad tanggal 29 Oktober 2011.

Sabtu, 29 Oktober 2011

ISI KAKAWIN NAGARAKRETAGAMA

Kitab Negarakretagama
PUPUH I
  1. Om ! Sembah pujiku orang hina ke bawah telapak kaki Pelindung jagat Siwa-Buda Janma-Batara senantiasa tenang tenggelam dalam Samadi Sang Sri Prawatanata, pelindung para miskin, raja adiraja dunia Dewa-Batara, lebih khayal dari yang khayal, tapi tampak di atas tanah.
  2. Merata serta meresapi segala mahluk, nirguna bagi kaum Wisnawa, Iswara bagi Yogi, Purusa bagi Kapila, hartawan bagai Jambala, Wagindra dalam segala ilmu, dewa Asmara di dalam cinta birahi, Dewa Yama di dalam menghilangkan penghalang dan menjamin dunia.
  3. Begitulah pujian pujangga penggubah sejarah raja, Kepada Sri Nata Rajasanagara, Sri Nata Milwatikta yang sedang memegang tampuk negara, bagai titisan Dewa-Batara beliau menyapu duka rakyat semua, tunduk setia segenap bumi Jawa, bahkan malah seluruh Nusantara.
  4. Tahun Saka masa memanah surya (1256) beliau lahir untuk jadi narpati, selama dalam kandungan di Kahuripan, telah tampak tanda keluhuran, gempa bumi, kepul asap, hujan abu, guruh halilintar menyambar-nyambar, Gunung Kampud gemuruh membunuh durjana, penjahat musnah dari negara.
  5. Itulah tanda bahwa Batara Girinata menjelma bagai raja besar, terbukti, selama bertahta, seluruh tanah Jawa tunduk menadah p'rintah, wipra, satria, waisya, sudra, keempat kasta sempurna dalam pengabdian, durjana berhenti berbuat jahat, takut akan keberanian Sri Nata.

Pupuh II
  1. Sang Sri Rajapatni yang ternama adalah nenekanda Sri Baginda, seperti titisan Parama Bagawati memayungi jagat raya, selaku wikuni tua tekun berlatih yoga menyembah Buda, tahun Saka dresti saptaruna (1272) kembali beliau ke Budaloka.
  2. Ketika Sri Rajapatni pulang ke Jinapada, dunia berkabung, kembali gembira bersembah bakti semenjak Baginda mendaki tahta, girang ibunda Tribuwana Wijayatunggadewi mengemban tahta, bagai rani di Jiwana resmi mewakili Sri Narendra-putera.
Pupuh III

  1. Beliau bersembah bakti kepada ibunda Sri Rajapatni, setia mengikuti ajaran Buda, menyekar yang telah mangkat, ayahanda Baginda Raja yalah Sri Kertawardana-raja, keduanya teguh beriman Buda demi perdamaian praja.
  2. Ayahnya Sri Baginda-raja bersemayam di Singasari, bagai Ratnasambawa menambah kesejahteraan bersama, teguh tawakal memajukan kemakmuran rakyat dan negara, mahir mengemudikan perdata, bijak dalam segala kerja.

Pupuh IV
  1. Puteri Rajadewi Maharajasa, ternama rupawan, bertahta di Daha, cantik tak bertara, bersandar nam guna, adalah bibi Baginda, adik maharani di Jiwana, Rani Daha dan Rani Jiwana bagai bidadari kembar.
  2. Laki sang rani Sri Wijayarajasa dari negeri Wengker, rupawan bagai titisan Upendra, mashur bagai sarjana, setara raja Singasari, sama teguh di dalam agama, sangat mashurlah nama beliau di seluruh tanah Jawa.

Pupuh V
  1. Adinda Baginda raja di Wilwatikta, puteri jelita bersemayam di Lasem, puteri jelita Daha, cantik ternama, Indudewi puteri Wijayarajasa.
  2. Dan lagi puteri bungsu Kertawardana, bertahta di Pajang, cantik tidak bertara, puteri Sri Narapati Jiwana yang mashur, terkenal sebagai adinda Sri Baginda.

Pupuh VI
  1. Telah dinobatkan sebagai raja tepat menurut rencana, laki tangkas Rani Lasem bagai raja daerah Matahun, bergelar Rajasawardana sangat bagus lagi putus dalam naya, Raja dan Rani terpuji laksana Asmara dengan Pinggala.
  2. Sri Singawardana, rupawan, bagus, muda, sopan dan perwira, bergelar raja Paguhan, beliaulah suami Rani Pajang, mulia perkawinannya laksana Sanatkumara dan Dewi Ida, bakti kepada raja, cinta sesama, membuat puas rakyat.
  3. Bhre Lasem menurunkan puteri jelita Nagarawardani, bersemayam sebagai permaisuri pangeran Wirabumi, Rani Pajang menurunkan Bhre Mataram Sri Wikramawardana, bagaikan titisan Hyang Kumara, wakil utama Sri Narendra.
  4. Puteri bungsu Rani Pajang mem'rintah daerah Pawanuhan, berjuluk Surawardani masih muda indah laksana gambar, para raja pulau Jawa masing-masing mempunyai negara, dan Wilwatikta tempat mereka bersama menghamba Sri Nata.

Pupuh VII
  1. Melambung kidung merdu pujian sang Prabu, beliau membunuh musuh-musuh, bagai matahari menghembus kabut, menghimpun negara di dalam kuasa, girang janma utama bagai bunga tunjung, musnah durjana bagai kumuda, dari semua desa di wilayah negara pajak mengalir bagai air.
  2. Raja menghapus duka si murba sebagai Satamanyu menghujani bumi, menghukum penjahat bagai Dewa Yana, menimbun harta bagaikan Waruna, para telik masuk menembus segala tempat laksana Hyang Batara Bayu, menjaga Pura sebagai Dewi Pertiwi, rupanya bagus seperti bulan.
  3. Seolah-olah Sang Hyang Kama menjelma, tertarik oleh keindahan Pura, semua para puteri dan istri sibiran dahi Sri Ratih, namun Sang Permaisuri keturunan Wijayarajasa tetap paling cantik, paling jelita bagaikan susumna, memang pantas jadi imbangan Baginda.
  4. Berputeralah beliau puteri mahkota Kusumawardhani, sangat cantik, sangat rupawan jelita mata, lengkung lampai, bersemayam di Kabalan, sang menantu Sri Wikramawardhana memegang perdata seluruh negara, sebagai dewa-dewi mereka bertemu tangan, menggirangkan pandang.

Pupuh VIII

  1. Tersebut keajaiban kota : tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari Pura, pintu Barat bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit, pohon brahmastana berkaki bodi, berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam, di situlah tempat tunggu para tanda terus menerus meronda, jaga paseban.
  2. Di sebelah Utara bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir, di sebelah Timur : panggung luhur, lantainya berlapis batu, putih-putih mengkilat, di bagian Utara, di Selatan pekan, rumah berjejal jauh memanjang, sangat indah, di Selatan jalan perempat : balai prajurit tempat pertemuan tiap Caitra.
  3. Balai agung Manguntur dengan balai Witana di tengah, menghadap padang watangan yang meluas ke empat arah; bagian Utara paseban pujangga dan menteri, bagian Timur paseban pendeta Siwa-Buda, yang bertugas membahas upacara pada masa grehana bulan Palguna demi keselamatan seluruh dunia.
  4. Di sebelah Timur pahoman berkelompok tiga-tiga mengitari kuil Siwa, di sebelah tempat tinggal wipra utama, tinggi bertingkat, menghadap panggung korban, bertegak di halaman sebelah Barat ; di Utara tempat Buda bersusun tiga, puncaknya penuh berukir, berhamburan bunga waktu raja turun berkorban.
  5. Di dalam, sebelah Selatan Manguntur tersekat pintu, itulah paseban, rumah bagus berjajar mengapit jalan ke Barat, di sela tanjung berbunga lebat, agak jauh di sebelah Barat Daya : panggung tempat berkeliaran para perwira, tepat di tengah-tengah halaman bertegak mandapa penuh burung ramai berkicau.
  6. Di dalam, di Selatan ada lagi paseban memanjang ke pintu keluar Pura yang kedua, dibuat bertingkat tangga, tersekat-sekat, masing-masing berpintu sendiri, semua balai bertulang kuat bertiang kokoh, papan rusuknya tiada tercela, para prajurit silih berganti, bergilir menjaga pintu, sambil bertukar tutur.

Pupuh IX

  1. Inilah para penghadap : pengalasan Ngaran, jumlahnya tak terbilang, Nyu Gading Janggala-Kediri, Panglarang, Rajadewi tanpa upama, Waisangka kapanewon Sinelir, para perwira Jayengprang Jayagung dan utusan Pareyok Kayu Apu, orang Gajahan dan banyak lagi.
  2. Begini keindahan lapang watangan, luas bagaikan tak berbatas, menteri, bangsawan, pembantu raja di Jawa, di deret paling muka, Bhayangkari tingkat tinggi berjejal menyusul di deret yang kedua, di sebelah Utara pintu istana, di Selatan satria dan pujangga.
  3. Di bagian Barat, beberapa balai memanjang sampai mercudesa, penuh sesak pegawai dan pembantu serta para perwira penjaga ; di bagian Selatan agak jauh : beberapa ruang, mandapa dan balai tempat tinggal abdi Sri Narapati di Paguhan, bertugas menghadap.
  4. Masuk pintu ke dua, terbentang halaman istana berseri-seri, rata dan luas, dengan rumah indah berisi kursi-kursi berhias ; di sebelah Timur menjulang rumah tinggi berhias lambang kerajaan, itulah balai tempat terima tatamu Sri Nata di Wilwatikta.

Pupuh X

  1. Inilah pembesar yang sering menghadap di balai Witana, Wredamentri, tanda menteri pasangguhan dengan pengiring, Sang Panca Wilwatikta : mapatih, demung, kanuruhan, rangga, Tumenggung, lima priyayi agung yang akrab dengan istana.
  2. Semua patih, demung negara bawahan dan pengalasan, semua pembesar daerah yang berhati tetap dan teguh, jika datang berkumpul di kepatihan seluruh negara., lima menteri utama yang mengawal urusan negara.
  3. Satria, pendeta, pujangga, para wipra, jika menghadap berdiri di bawah lindungan asoka di sisi witana, begitu juga dua dharmadyaksa dan tujuh pembantunya, bergelar arya, tangkas tingkahnya, pantas menjadi teladan.

Pupuh XI

  1. Itulah penghadap balai witana, tempat takhta yang terhias serba bergas, pantangan masuk ke dalam Istana Timur, agak jauh dari pintu pertama, ke Istana Selatan tempat Singawardana, permaisuri, putra dan putrinya, ke Istana Utara tempat Kertawardana ; ketiganya bagai kahyangan.
  2. Semua rumah bertiang kuat, berukir indah, dibuat berwarna-warni, kakinya dari batumerah pating berunjul, bergambar aneka lukisan, genting atapnya bersemarak serba meresap pandang menarik perhatian, bunga tanjung, kesara, cempaka dan lain-lainnya terpencar di halaman.

Pupuh XII

  1. Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi benteng, Timur tempat tinggal pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja, Selatan Buda-sangga dengan Rangkanadi sebagai pemuka, Barat tempat Arya, menteri dan sanak kadang adiraja.
  2. Di Timur tersekat lapangan, menjulang istana ajaib, Raja Wengker dan Rani Daha penaka Indra dan Dewi Saci, berdekatan dengan istana raja Matahun dan rani Lasem, tak jauh di sebelah Selatan Raja Wilwatikta.
  3. Di sebelah Utara pasar, rumah besar bagus lagi tinggi, di situ menetap patih Daha, adinda Baginda di Wengker Bhatara Narapati, termashur sebagai tulang punggung praja, cinta taat kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak.
  4. Di Timur Laut rumah patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada, menteri wira, bijaksana, setia bakti kepada negara, fasih bicara, teguh tangkas, tenang tegas, cerdik lagi jujur, tangan kanan maharaja sebagai penggerak roda negara.
  5. Sebelah Selatan Puri, gedung kejaksaan tinggi bagus ; sebelah Timur perumahan Siwa, sebelah Barat Buda ; terlangkahi rumah para menteri, para arya dan satria, perbedaan ragam pelbagai rumah menambah indahnya pura.
  6. Semua rumah memancarkan sinar warnanya gilang cemerlang, menandingi bulan dan matahari, indah tanpa upama ; negara-negara di Nusantara, dengan Daha bagai pemuka, tunduk menengadah, berlindung di bawah Wilwatikta.

Pupuh XIII

  1. Terperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu M'layu, Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya, pun ikut juga disebut daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane, Kampe, Haru serta Mandailing, Tamihang, negara Perlak dan Padang.
  2. Lwas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus, itulah negara-negara Melayu yang t'lah tunduk, negara-negara di pulau Tanjungnegara : Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut tersebut.

Pupuh XIV

  1. Kadandangan, Landa Samadang dan Tirem tak terlupakan, Sedu, Barune (ng), Kalka, Saludung, Solot dan juga Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei, Malano tetap yang terpenting di pulau Tanjungpura.
  2. Di Hujung Mendini Pahang yang disebut paling dahulu, berikut Langkasuka, Saimwang, Kelantan serta Trengganu, Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah, Jerai, Kanjapiniran, semua sudah lama terhimpun.
  3. Di sebelah Timur Jawa seperti yang berikut : Bali dengan negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah, Gurun serta Sukun, Taliwang, pulau Sapi dan Dompo, Sang Hyang Api, Bima, Seran, Hutan Kendali sekaligus.
  4. Pulau Gurun yang biasa disebut Lombok Merah, dengan daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya, Bantayan di wilayah Bantayan beserta kota Luwuk, sampai Udamakatraya dan pulau lain-lainnya tunduk.
  5. Tersebut pula pulau-pulau Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian serta Salayar, Sumba, Solot, Muar, lagi pula Wanda(n), Ambon atau pulau Maluku, Wanin, Seran, Timor dan beberapa lagi pulau-pulau lain.

Pupuh VX

  1. Inilah nama negara asing yang mempunyai hubungan, Siam dengan Ayudyapura, begitupun Darmanagari, Marutma, Rajapura, begitu juga Singanagari, Campa, Kamboja dan Yawana yalah negara sahabat.
  2. Tentang pulau Madura, tidak dipandang negara asing, karena sejak dahulu dengan Jawa menjadi satu, konon tahun Saka lautan menantang bumi, itu saat Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh.
  3. Semenjak Nusantara menadah perintah Sri Baginda, tiap musim tertentu mempersembahkan pajak upeti, terdorong keinginan akan menambah kebahagiaan, pujangga dan pegawai diperintah menarik upeti.

Pupuh XVI

  1. Pujangga-pujangga yang lama berkunjung di nusantara, dilarang mengabaikan urusan negara, mengejar untung ; seyogyanya jika mengemban perintah ke mana juga menegakkan agama Siwa, menolak ajaran sesat.
  2. Konon kabarnya para pendeta penganut Sang Sugata, dalam perjalanan mengemban perintah Baginda Nata, dilarang menginjak tanah sebelah Barat pulau Jawa, karena penghuninya bukan penganut ajaran Buda.
  3. Tanah sebelah Timur Jawa terutama Gurun, Bali, boleh dijelajah tanpa ada yang dikecualikan, bahkan menurut kabaran mahamuni Empu Barada serta raja pendeta Kuturan telah bersumpah teguh.
  4. Para pendeta yang mendapat perintah untuk bekerja, dikirim ke Timur ke Barat, dimana mereka sempat melakukan persajian seperti perintah Sri Nata ; resap terpandang mata jika mereka sedang mengajar.
  5. Semua negara yang tunduk setia menganut perintah, dijaga dan dilindungi Sri Nata dari pulau Jawa ; tapi yang membangkang, melanggar perintah, dibinasakan pimpinan angkatan laut, yang telah mashur lagi berjasa.

Pupuh XVII

  1. Telah tegak kuasa Sri Nata di Jawa dan wilayah nusantara, di Sripalatikta tempat beliau bersemayam menggerakkan roda dunia, tersebar luas nama beliau, semua penduduk puas girang dan lega ; wipra, pujangga dan semua penguasa ikut menumpang menjadi mashur.
  2. Sungguh besar kuasa dan jasa beliau, raja agung wilayah Janggala Kediri ;raja agung dan raja utama ; lepas dari segala duka, mengenyam hidup penuh segala kenikmatan, terpilih semua gadis manis di seluruh wilayah Janggala Kediri, berkumpul di istana bersama yang terampas dari negara tetangga.
  3. Segenap tanah Jawa bagaikan satu kota di bawah kuasa Baginda ; ribuan orang berkunjung laksana bilangan tentara yang mengepung pura ; semua pulau laksana daerah pedusunan tempat menimbun bahan makanan ; gununga dan rimba hutan penaka taman hiburan terlintas tak berbahaya.
  4. Tiap bulan sehabis musim hujan beliau biasa pesiar keliling, desa Sima di sebelah Selatan Jalagiri, di sebelah Timur Pura, ramai tak ada hentinya selama pertemuan dan upacara prasetyan, girang melancong mengunjungi Wewe Pikatan setempat dengan candi lima.
  5. Atau pergilah beliau bersembah bakti ke hadapan Hyang Acalapati, biasanya terus menuju Blitar, Jimur mengunjungi gunung-gunung permai, di Daha terutama di Polaman, ke Kuwu dan Lingga hingga desa Bangin, jika sampai di Jenggala singgah di Surabaya terus menuju Buwun.
  6. Tahun Aksatisurya (1275) sang prabu menuju Pajang membawa banyak pengiring ; tahun Saka angga-naga-aryama (1276) ke Lasem, melintasi pantai samudra ; tahun Saka pintu-gunung-mendengar-indu (1279) ke laut selatan menembus hutan, lega menikmati pemandangan alam indah Lodaya, Tetu dan Sideman.
  7. Tahun Saka seekor-naga-menelan bulan (1281) di Badrapada bulan tambah ; Sri Nata pesiar keliling seluruh negara menuju kota Lumajang, naik kereta diiring semua raja Jawa serta permaisuri dan abdi, menteri, tanda, pendeta, pujangga, semua para pembesar ikut serta.
  8. Juga yang menyamar Prapanca girang turut mengiring paduka Maharaja ; tak tersangkal girang sang kawi, putera pujangga, juga pencinta kakawin ; dipilih Sri Baginda sebagai pembesar keBudaan mengganti sang ayah ; semua pendeta Buda umerak membicarakan tingkah lakunya dulu.
  9. Tingkah sang kawi waktu muda menghadap raja, berkata berdamping, tak lain maksudnya mengambil hati, agar disuruh ikut beliau kemana juga ; namun belum mampu menikmati alam, membinanya, mengolah dan menggubah karya kakawin ; begitu warna desa sepanjang marga terkarang berturut.
  10. Mula-mula melalui Japan dengan asrama dan candi-candi ruk-rebah, sebelah Timur Tebu hutan Pandawa, Daluwang, Bebala di dekat Kanci ; Ratnapangkaja serta Kuti Haji Pangkaja memanjang bersambung-sambungan ; Mandala Panjrak, Pongging serta Jingan, Kuwu Hanyar letaknya di tepi jalan.
  11. Habis berkunjung pada candi makam Pancasara menginap di Kapulungan ; selanjutnya sang kawi bermalam di Waru, di Hering tidak jauh dari pantai, yang mengikuti ketetapan hukum jadi milik kepala asrama Saraya ; tetapi masih tetap dalam tangan lain, rindu termenung-menung menunggu.

Pupuh XVIII
  1. Seberangkat Sri Nata dari Kapulungan berdesak abdi berarak, sepanjang jalan penuh kereta, penumpangnya duduk berimpit-impit, pedati di muka dan di belakang, di tengah prajurit berjalan kaki, berdesak-desakan, berebut jalan dengan binatang gajah dan kuda.
  2. Tak terhingga jumlah kereta, tapi berbeda-beda tanda cirinya, meleret berkelompok-kelompok, karena tiap ment'ri lain lambangnya, rakrian sang menteri patih amangkubumi penatang kerajaan, keretanya beberapa ratus, berkelompok dengan aneka tanda.
  3. Segala kereta Sri Nata Pajang semua bergambar matahari, semua kereta Sri Nata Lasem bergambar cemerlang banteng putih, kendaraan Sri Nata Daha bergambar Dahakusuma mas mengkilat, kereta Sri Nata Jiwana berhias bergas menarik perhatian.
  4. Kereta Sri Nata Wilwatikta tak ternilai, bergambar buah maja, beratap kain geringsing, berhias lukisan mas, bersinar merah indah, semua pegawai, parameswari raja dan juga rani Sri Sudewi, ringkasnya para wanita berkereta merah, berjalan paling muka.
  5. Kereta Sri Nata berhias mas dan ratna manikam paling belakang, jempana-jempana lainnya bercadar beledu, meluap gemerlap, rapat rampak prajurit pengiring Janggala Kediri, Panglarang, Sedah, bhayangkari gem'ruduk berbondong-bondong naik gajah dan kuda.
  6. Pagi-pagi telah tiba di Pancuran Mungkur, Sri Nata ingin rehat, Sang rakawi menyidat jalan, menuju Sawungan mengunjungi akrab, larut matahari berangkat lagi tepat waktu Sri Baginda lalu, ke arah Timur menuju Watu Kiken, lalu berhenti di Matanjung.
  7. Dukuh sepi kebudaan dekat tepi jalan, pohonnya jarang-jarang,, berbeda-beda namanya, Gelanggang, Badung, tidak jauh dari Barungbung, tak terlupakan Ermanik, dukuh teguh taat kepada Yanatraya, puas sang dharmadhyaksa mencicipi aneka jamuan makan dan minum.
  8. Sampai di Kulur, Batang di Gangan Asem perjalanan Sri Baginda Nata, hari mulai teduh, surya terbenam, telah gelap pukul tujuh malam, baginda memberi perintah memasang tenda di tengah-tengah sawah, sudah siap habis makan, cepat-cepat mulai membagi-bagi tempat.

Pupuh XIX
  1. Paginya berangkat lagi menuju Baya, rehat tiga hari tiga malam, dari Baya melalui Katang, Kedung Dawa, Rame, menuju Lampes Times, serta biara pendeta di Pogara mengikut jalan pasir lemak-lembut, menuju daerah Beringin Tiga di Dadap, kereta masih terus lari.
  2. Tersebut dukuh kasogatan Madakaripura dengan pemandangan indah, tanahnya anugerah Sri Baginda kepada Gajah Mada, teratur rapi, di situlah Baginda menempati pesanggrahan yang terhias bergas, sementara mengunjungi mata air, dengan ramah melakukan mandi bakti.

Pupuh XX

  1. Sampai di desa kasogatan Baginda dijamu makan minum, pelbagai penduduk Gapuk, Sada, Wisisaya, Isanabajra, Ganten, Poh, Capahan, Kalampitan, Lambang, Kuran, Pancar, WePeteng, yang letaknya di lingkungan biara, semua datang menghadap.
  2. Begitu pula desa Tinggilis, Pabayeman ikut berkumpul, termasuk Ratnapangkaja di Carcan, berupa desa perdikan, itulah empat belas desa kasogatan yang berakuwu, sejak dahulu delapan saja yang menghasilkan makanan.

Pupuh XXI
  1. Fajar menyingsing ; berangkat lagi Baginda melalui Lo Pandak, Ranu Kuning, Balerah, Bare-bare, Dawohan Kapayeman, Telpak, Baremi, Sapang serta Kasaduran Kereta berjalan cepat-cepat menuju Pawiyungan
  2. Menuruni lurah, melintasi sawah, lari menuju Jaladipa, Talapika, Padali, Arnon dan Panggulan Langsung ke Payaman, Tepasana ke arah kota Rembang Sampai di Kemirahan yang letaknya di pantai lautan

Pupuh XXII
  1. Di Dampar dan Patunjungan Sri Baginda bercengkerama menyisir tepi lautan Ke jurusan Timut, turut pasisir datar, lembut-limbur dilintas kereta Berhenti beliau di tepi danau penuh teratai, tunjung sedang berbunga Asyik memandang udang berenang dalam air tenang memperlihatkan dasarnya
  2. Terlangkahi keindahan air telaga yang lambai-melambai dengan lautan Danau ditinggalkan, menuju Wedi dan Guntur tersembunyi di tepi jalan Kasogatan Bajraka termasuk wilayah Taladwija sejak dulu kala Seperti juga Patunjungan, akibat perang, belum kembali ke asrama
  3. Terlintas tempat tersebut, ke Timur mengikut hutan sepanjang tepi lautan Berhenti di Palumbon berburu sebentar, berangkat setelah surya larut Menyeberangi sungai Rabutlawang yang kebetulan airnya sedang surut Menuruni lurah Balater menuju pantai lautan, lalu bermalam lagi
  4. Pada waktu fajar menyingsing, menuju Kunir Basini, di Sadeng bermalam Malam berganti malam, Baginda pesiar menikmati alam Sarampuan Sepeninggalnya beliau menjelang kota Bacok bersenang-senang di pantai Heran memandang karang tersiram riak gelombang berpancar seperti hujan
  5. Tapi sang rakawi tidak ikut berkunjung di Bacok, pergi menyidat jalan Dari Sadeng ke Utara menjelang Balung, terus menuju Tumbu dan Habet Galagah, Tampaling, beristirahat di Renes seraya menanti Baginda Segera berjumpa lagi dalam perjalanan ke Jayakreta-Wanagriya

Pupuh XXIII

  1. Melalui Doni Bontong, Puruhan, Bacek Pakisaji, Padangan terus ke Secang Terlintas Jati Gumelar, Silabango Ke Utara ke Dewa Rame dan Dukun.
  2. Lalu berangkat lagi ke Pakembangan Di situ bermalam ; segera berangkat Sampailah beliau ke ujung lurah Daya Yang segera dituruni sampai jurang.
  3. Dari pantai ke Utara sepanjang jalan Sangat sempit, sukar amat dijalani Lumutnya licin akibat kena hujan Banyak kereta rusak sebab berlanggar.

Pupuh XXIV
  1. Terlalu lancar lari kereta melintas Palayangan Dan Bangkong, dua desa tanpa cerita, terus menuju Sarana, mereka yang merasa lelah ingin berehat Lainnya bergegas berebut jalan menuju Surabasa
  2. Terpalang matahari terbenam berhenti di padang lalang Senja pun turun, sapi lelah dilepas dari pasangan Perjalanan membelok ke Utara melintas Turayan Beramai-ramai lekas-lekas ingin mencapai Patukangan

Pupuh XXV
  1. Panjang lamun dikisahkan kelakukan para mentri dan abdi Beramai-ramai Baginda telah sampai di desa Patukangan Di tepi laut lebar tenang rata terbentang di Barat Talakrep Sebelah Utara Pakuwuan pesanggrahan Baginda Nata
  2. Semua menteri, mancanegara hadir di Pakuwuan Juga jaksa Pasungguhan Sang Wangsadiraja ikut menghadap Para Upapatti yang tanpa cela, para pembesar agama Panji Siwa dan Panji Budha, faham hukum dan putus sastera

Pupuh XXVI
  1. Sang adipati Suradikara memimpin upacara dan sambutan Diikuti segenap penduduk daerah wilayah Patukangan Menyampaikan persembahan, girang bergilir dianugerahi kain Girang rakyat girang raja, pakuwuan berlimpah kegirangan
  2. Untuk pemandangan ada rumah dari ujung memanjang ke lautan Aneka bentuknya, rakit halamannya, dari jauh bagai pulau Jalannya jembatan goyah kelihatan bergoyang ditempuh ombak Itulah buatan Sang Arya bagai persiapan menyambut raja.

Pupuh XXVII

  1. Untuk mengurangi sumuk akibat teriknya matahari Baginda mendekati permaisuri seperti dewa-dewi Para puteri laksana apsari turun dari kahyangan
  2. Hilangnya keganjilan berganti pandang penuh heran-cengang Berbagai-bagai permainan diadakan demi kesukaan
  3. Berbuat segala apa yang membuat gembura penduduk Menari topeng, bergumul, bergulat, membuat orang kagum Sungguh beliau dewa menjelma, sedang mengedari dunia.

Pupuh XXVIII

  1. Selama kunjungan di desa Patukangan Para menteri dari Bali dan Madura Dari Balumbung, kepercayaan Baginda Menteri seluruh Jawa Timur berkumpul
  2. Persembahan bulu bekti bertumpah-limpah Babi, gudel, kerbau, sapi, ayam dan anjing
  3. Bahan kain yang diterima bertumpuk timbun Para penonton tercengang-cengang, memandang
  4. Tersebut keesokan hari pagi-pagi Baginda keluar di tengah-tengah rakyat Diiringi para kawi serta pujangga Menabur harta, membuat gembira rakyat

Pupuh XXIX
  1. Hanya pujangga yang menyamar Prapanca sedih tanpa upama Berkabung kehilangan kawan kawi-Budha Panji Kertayasa Teman bersuka-ria, teman karib dalam upacara ‘gama
  2. Beliau dipanggil pulang, sedang mulai menggubah karya megah Kusangka tetap sehat, sanggup mengantar aku kemana juga
  3. Beliau tahu tempat-tempat mana yang layak pantas dilihat Rupanya sang pujangga ingin mewariskan karya megah indah
  4. Namun mangkatlah beliau, ketika aku tiba, tak terduga Itulah lantarannya aku turut berangkat ke desa Keta Meliwati Tal Tunggal, Halalang-panjang, Pacaran dan Bungatan Sampai Toya Rungun, Walanding, terus Terapas, lalu bermalam Paginya berangkat ke Lemah Abang, segera tiba di Keta

Kamis, 27 Oktober 2011

ASAL USUL DUSUN GONDANGREJO, Desa Cakru Kecamatan Kencong JEMBER


Nama dusun Gondangrejo semula adalah Gondanggrowok. Nama Gondanggrowok ini berasal dari pohon Gondang yang krowok (berlubang). Bekas pohon Gondang yang berlubang ini saat ini terletak di bagian belakang rumah Pak Yusuf (mantan bayan Gondangrejo). Menurut cerita turun temurun, pohon gondang yang krowok tersebut secara mistis dihuni oleh macan loreng[1].

        Pohon Dan Buah Gondang (Ficus variegate Bl)
Pohon Gondang (Ficus variegata Bl ) yang tumbuh pada tanah basah atau berair. Pohon Gondang adalah jenis pohon dengan ciri akar nafas. Buahnya yang menempel di batang pohon, bisa dirujak atau dijadikan bumbu masak. Akar tanaman ini, konon bisa untuk obat anti racun.
Pada perkembangan selanjutnya, wilayah Gondang Growok ini banyak dihuni oleh masyarakat. Masyarakat di sini dari hari semakin hari semakin rejo alias sejahtera. Sehingga dari ini berganti nama dari Gondanggrowok menjadi Gondangrejo.
Masyarakat Gondangrejo sebagian besar adalah suku Jawa. Mereka berasal dari Jawa Tengah, diantaranya dari Solo dan Yogyakarta. Perpindahan penduduk ke Gondangrejo yang berasal dari Jawa Tengah terjadi tatkala jaman grodokan di wilayah Jawa Tengah[2]. (Disusun Oleh Y. Setiyo Hadi / Mas Yopi)



[1] Wawancara dengan Sugianto, Kepala Dusun Gondangrejo, tanggal 25 Oktober 2011.
[2] Wawancara dengan Sugianto, Kepala Dusun Gondangrejo, tanggal 25 Oktober 2011.  Sugianto menceritakan tentang asal usul buyutnya yang bernama Buyut Saiman. Buyut Saiman ini merupakan Prajurit Mataram datang ke Gondangrejo berdasarkan petuah ayahnya agar pergi ke Jember Pojok Kidul Kulon (Selatan Bagian Barat). Semula tinggal di Sukoreno, namun setelah tahu masih ada bagian pojok kidul, yaitu wilayah Gondangrejo, Buyut Saiman pindah ke Gondangrejo.

Minggu, 23 Oktober 2011

Oudheden op Java










Spoorweg kaart van Java





Het Oosterdeel van het Eyland Groot Java








Oost Java : [geologische kaart]






Jumat, 21 Oktober 2011

SEJARAH LUMAJANG

Bumi LUMAJANG sejak jaman Nirleka dikenal sebagai daerah yang "PANJANG-PUNJUNG PASIR WUKIR GEMAH RIPAH LOH JINAWI TATA TENTREM KERTA RAHARJA".
          PANJANG-PUNJUNG berarti memiliki sejarah yang lama. Dari peninggalan-peninggalan Nirleka maupun prasasti yang banyak ditemukan di daerah Lumajang cukup membuktikan hal itu.
          Beberapa prasasti yang pernah ditemukan, antara lain Prasasti Ranu Gumbolo. Dalam prasasti tersebut terbaca "LING DEVA MPU KAMESWARA TIRTAYATRA". Pokok-pokok isinya adalah bahwa Raja Kameswara dari Kediri pernah melakukan TIRTAYATRA ke dusun Tesirejo kecamatan Pasrujambe, juga pernah ditemukan prasasti yang merujuk pada masa pemerintahan Raja Kediri KERTAJAYA.
Beberapa bukti peninggalan yang ada antara lain :
  1. Prasasti Mula Malurung
  2. Naskah Negara Kertagama
  3. Kitab Pararaton
  4. Kidung Harsa Wijaya
  5. Kitab Pujangga Manik
  6. Serat Babat Tanah Jawi
  7. Serat Kanda
          Dari Prasasti Mula Manurung yang ditemukan di Kediri pada tahun 1975 dan ber-angka tahun 1177 Saka (1255 Masehi) diperoleh informasi bahwa NARARYYA KIRANA, salah satu dari anak Raja Sminingrat (Wisnu Wardhana) dari Kerajaan Singosari, dikukuhkan sebagai Adipati (raja kecil) di LAMAJANG(Lumajang). Pada tahun 1255 Masehi, tahun yang merujuk pada pengangkatan NARARYYA KIRANA sebagai Adipati di Lumajang inilah yang kemudian dijadikan sebagai sebagai dasar penetapan Hari Jadi Lumajang (HARJALU).
          Dalam Buku Pararaton dan KIDUNG HARSYA WIJAYA disebutkan bahwa para pengikut Raden Wijaya atau Kertarajasa dalam mendirikan Majapahit, semuanya diangkat sebagai Pejabat Tinggi Kerajaan. Di antaranya Arya Wiraraja diangkat Maha Wiradikara dan ditempatkan di Lumajang, dan putranya yaitu Pu Tambi atau Nambi diangkat sebagai Rakyan Mapatih.
          Pengangkatan Nambi sebagai Mapatih inilah yang kemudian memicu terjadinya pemberontakan di Majapahit. Apalagi dengan munculnya Mahapati(Ramapati) seorang yang cerdas, ambisius dan amat licik. Dengan kepandaiannya berbicara, Mahapati berhasil mempengaruhi Raja. Setelah berhasil menyingkirkan Ranggalawe, Kebo Anabrang, Lembu Suro, dan Gajah Biru, target berikutnya adalah Nambi.
          Nambi yang mengetahui akan maksud jahat itu merasa lebih baik menyingkir dari Majapahit. Kebetulan memang ada alasan, yaitu ayahnya(Arya Wiraraja) sedang sakit, maka Nambi minta izin kepada Raja untuk pulang ke Lumajang. Setelah Wiraraja meninggal pada tahun 1317 Masehi, Nambi tidak mau kembali ke Majapahit, bahkan membangun Beteng di Pajarakan. Pada 1316, Pajarakan diserbu pasukan Majapahit. Lumajang diduduki dan Nambi serta keluarganya dibunuh.
          Pupuh 22 lontar NAGARA KERTAGAMA yang ditulis oleh Prapanca menguraikan tentang perjalanan Raja Hayam Wuruk ke Lumajang. Selain NAGARA KERTAGAMA, informasi tentang Lumajang diperoleh dari Buku Babad. Dalam beberapa buku babad terdapat nama-nama penguasa Lumajang, yaitu WANGSENGRANA, PUTUT LAWA, MENAK KUNCARA(MENAK KONCAR) dan TUMENGGUNG KERTANEGARA. Oleh karena kemunculan tokoh-tokoh itu tidak disukung adanya bukti-bukti yang berupa bangunan kuno, keramik kuno, ataupun prasasti, maka nama-nama seperti MENAK KONCAR hanyalah tokoh dongeng belaka.
          Di tepi Alun-alun Lumajang sebelah utara terdapat bangunan mirip candi, berlubang tembus, terdapat CANDRA SENGKALA yang berbunyi "TRUSING NGASTA MUKA PRAJA" (TRUS=9, NGASTA=2, MUKA=9, PRAJA=1). Bangunan ini merupakan tetenger atau penanda, ditujukan untuk mengenang peristiwa bersejarah, yaitu pada tahun 1929. Lumajang dinaikkan statusnya menjadi REGENTSCAH otonom per 1 Januari 1929 sesuai Statblat Nomor 319, 9 Agustus 1928. Regentnya RT KERTO ADIREJO, eks Patih Afdelling Lumajang (sebelumnya Lumajang masuk wilayah administratif Kepatihan dari Afdelling Regentstaschap atau Pemerintah Kabupaten Probolinggo).
          Pada masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan tahun 1942-1949, Lumajang dijadikan sebagai basis perjuangan TNI dengan dukungan rakyat.
          Nama-nama seperti KAPTEN KYAI ILYAS, SUWANDAK, SUKERTIYO, dan lain-lainnya, baik yang gugur maupun tidak, yang dikenal atau tak dikenal, adalah para kusuma bangsa yang dengan meneruskan perjuangan para pahlawan kusuma bangsa itu dengan bekerja secara tulus, menjauhkan kepentingan pribadi, jujur, amanah, dan bersedia berkorban demi kemajuan Lumajang Tercinta.
          Mengingat keberadaan Negara Lamajang sudah cukup meyakinkan bahwa 1255M itu Lamajang sudah merupakan sebuah negara berpenduduk, mempunyai wilayah, mempunyai raja (pemimpin) dan pemerintahan yang teratur, maka ditetapkanlah tanggal 15 Desember 1255 M sebagai hari jadi Lumajang yang dituangkan dalam Keputusan Bupati Kepala Derah Tingkat II Lumajang Nomor 414 Tahun 1990 tanggal 20 Oktober 1990
          Sejak tahun 1928 Pemerintahan Belanda menyerahkan segala urusan segala pemerintahan kepada Bupati Lumajang pertama KRT Kertodirejo. Yang ditandai dengan monumen / tugu yang terletak di depan pintu gerbang Alun-alun sebelah utara.
1. KRT KERTODIREJO ( 1928 - 1941 )
2. R. ABU BAKAR  ( 1941 - 1948 )
3. R. SASTRODIKORO  ( 1948 - 1959 )
4. R. SUKARDJONO ( 1959 - 1966 )
5. N.G. SUBOWO ( 1966 - 1973 )
6. SUWANDI ( 1973 - 1983 )
7. KARSID ( 1983 - 1988 )
8. H.M. SAMSI RIDWAN ( 1988 - 1993 )
9. TARMIN HARIYADI ( 1993 - 1998 )
10. Drs.H. ACHMAD FAUZI ( 1998 - 2003 )
11. Drs.H. ACHMAD FAUZI - H. HARTONO, SH, S.Sos ( 2003 - 2008 )
12. DR.H. SJAHRAZAD MASDAR,MA - Drs. AS'AT ( 2008 - 2013 )


Kamis, 20 Oktober 2011

MARTO KAWINTEN = USIA HAMPIR 100 Tahun

MARTO KAWINTEN, Veteran 1945, Umur hampir 100 tahun, tinggal di Desa Paseban Kencong Jember

PROFIL DESA CAKRU

Kantor Desa Cakru

Peta Desa Cakru Sebelum Pemekaran Desa
Tugu Perbatasan Desa Cakru dan Desa Keting